You are currently viewing PEMBANGUNAN TEROWONGAN AIR NEYAMA SEBAGAI SOLUSI PENAGGULANGAN BANJIR DI TULUNGAGUNG

PEMBANGUNAN
TEROWONGAN AIR NEYAMA
SEBAGAI
SOLUSI PENAGGULANGAN BANJIR DI TULUNGAGUNG

Oleh
: Robertus Kevin Danu

Indonesia merupakan kawasan rawan terjadi bencana
alam, seperti gunung meletus, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, dll. Salah
satu yang paling sering terjadi adalah banjir. Bencana ini membawa dampak sosial
dan ekonomi yang besar pada masyarakat. Oleh karena itu, Indonesia perlu
menyediakan infrastruktur yang memadahi agar dampak bencana ini dapat dikurangi
secara signifikan sehingga kerugian akibat dampak bencana dapat diminimalisir. 

Kabupaten Tulungagung menjadi satu dari sekian banyak daerah
di Indonesia yang sering mengalami
 
banjir. Hal tersebut dikarenakan oleh dua faktor dominan yaitu topografi
kawasan dan meluapnya Sungai Brantas. Topografi wilayah Kabupaten Tulungagung
terbagi menjadi tiga kawasan yakni kawasan berbukit, dataran rendah, dan
pantai. Daerah Utara, Timur, dan Tengah merupakan daerah dataran rendah.
Sedangkan daerah Selatan dan Barat merupakan kawasan berbukit dan berpantai.
Bencana banjir yang melanda Tulungagung sering terjadi pada daerah utara yang
memanjang ke selatan dan daerah tengah ke timur. Bencana banjir juga didukung
oleh meluapnya aliran sungan Brantas akibat pendangkalan sungai karena sedimen
dari sisa letusan Gunung Kelud.

Gambar 1. Peta Daerah Banjir di Tulungagung
Untuk mengatasi masalah banjir di Tulungagung maka
didirikanlah Terowongan Air Neyama pada masa pendudukan Jepang di
Hindia-Belanda tahun 1943. Alasan utama pembangunannya yakni meluapnya Sungai
Brantas tahun 1942 yang merendam 150 desa, 9.000 rumah, dan area pertanian di
Tulungagung. Oleh sebab itu, pemerintah Karesidenan Kediri membangun terowongan
air melalui area perbukitan untuk menguras air yang menggenangi rawa di daerah
hilir sungai menuju Samudera Hindia sekaligus untuk menjaga tanaman padi untuk
pasukan Jepang di medan perang. Pembangunannya sendiri dilakukan secara manual
dengan bahan peledak dan peralatan tangan sederhana yang dikerjakan dengan sistem
romusha. Untuk mengerjakannya
dibuatlah saluran terbuka dengan meratakan punggung bukit dan pengahncuran batu
kapur di dasar bukit dengan dinamit. Pekerjaan
terowongan selesai pada bulan Juli 1944.

Gambar 2. Saluran Air Terowongan Tulungagung Selatan ke Pantai Sidem

Terowongan Neyama masih dapat bekerja dengan baik
hingga Jepang meninggalkan Indonesia pada 1945. Akan tetapi sepuluh tahun
kemudian (tahun 1955) terjadi banjir di Sungai Brantas akibat meningginya dasar
sungai (
riverbed) karena masih adanya
sedimentasi letusan Gunung Kelud. Hal ini berdampak pada perekonomian dan
kesehatan masyarakat. Di musim penghujan, lahan perkebunan tebu dan palawija
hingga area persawahan di daerah Tulungagung terendam banjir. Menurut laporan
pada tahun 1976, banjir yang terjadi hampir setiap tahun telah membawa kerugian
hingga Rp287.012.505. Selain itu penyebaran penyakit kulit hingga demam
berdarah terjadi di daerah Kota Tulungagung dan sekitarnya. Untuk mengatasinya,
pemerintah melakukan rehabilitasi terowongan dengan memperlebar diameter
terowongan menjadi 7 meter dan panjang 950 meter, proyek rehabilitasi selesai
pada 1961. Namun, pada tahun 1971 banjir terjadi lagi dikarenakan faktor yang
relatif sama yaitu pendangkalan dasar sungai akibat sedimentasi letusan Gunung
Kelud.

Revitalisasi yang dilakukan pada tahun 1961 hanya
bersifat sementara, sehingga perlu dilakukan penambahan terowongan untuk
menampung debit air yang lebih besar. Dalam membantu pengoptimalan proyek pembangunan
Terowongan Neyama II (Terowongan Tulunganggung Selatan II) yang berkonsep
pelebaran diameter dan penambahan terowongan baru pemerintah memperbaiki dua
buah sungai yang menjadi salah satu pembagi pematusan banjir. Pertama, saluran
Parit Raya yang berasal dari wilayah
Sungai Trenggalek yang kemudian dibelokkan ke arah timur dan masuk daerah
Terowongan Neyama. Kedua,
Saluran Parit
Raya
yang merupakan saluran air dari Kali Ngrowo menuju daerah pembuangan
di Terowongan Neyama. Proyek yang dimulai pada tahun 1971 ini akhirnya selesai
pada tahun 1986. Setelah pembangunan terowongan tambahan selesai, dampak banjir
yang terjadi di Tulungagung dapat berangsur-angsur berkurang.

Gambar 3. Pintu Terowongan Tulungagung Selatan

Dalam catatan sejarah, banjir di Tulungagung dari
tahun 1955-1986 menyebabkan perlunya pembangunan infrasturktur sipil yang
memadahi guna menaggulangi bencana alam yang dapat merugikan masyarakat di
daerah rawan bencana. Pembangunan Terowongan Neyama oleh Pemerintah Militer
Jepang pada masa pendudukan serta rehabilitasi dan penambahan Terowongan
Tulungagung Selatan II oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi langkah yang
baik guna menanggulangi kerugian akibat banjir tahunan di Kabupaten
Tulungagung, Jawa Timur.


Referensi
Istieni, Nofi. Banjir
di Tulungagung 1955-1986
. Jurnal Pendidikan Sejarah. Volume 6 no. 2 . Juli
2018.
Isnaeni, Hendri F. (14 April 2012). Terowongan Neyama Romusha. Dikutip 9
Februari 2019 dari Historia :
https://historia.id/politik/articles/terowongan-neyama-romusha-PRkO6.
Admin (5 Februari 2013). Wisata Tulungagung : Terowongan Tulungagung Selatan, Sejarah Terowongan
Niyama, Seluk Beluk Terowongan Tulungagung Selatan, Banjir Tulungagung
.
Dikutip 10 Februari 2019 dari info.okeygan :
http://info.okeygan.com/2013/02/Wisata-Tulungagung-Terowongan-Tulungagung-Selatan-Sejarah-Terowongan-Niyama-Seluk-Beluk-Terowongan-Tulungagung-Selatan-Banjir-Tulungagung.html.
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments